MENGENAL TUHAN


Bismillaahirrohmaanirrohiim


Dalam istilah Jawa,Tuhan adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran(Sangkan Paraning Dumadi), karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. Dia hanya satu, tanpa kembaran ( Pangeran iku mung sajuga tan kinembari). 
Orang Jawa biasa menyebut-NYA dengan “Gusti” atau “Pangeran” artinya Raja. Masyarakat tradisional sering mengartikan "Pangeran" berasal dari kata "pangegeran", yang artinya "Tempat bernaung atau berlindung" 

Sedang wujud-NYA tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapai-NYA dan kata kata tak dapat menerangkan-NYA. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaran-NYA. 

Karena itu orang Jawa menyebutnya "Tan kena kinaya ngapa" ( tak dapat diserupakan). Manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan peranan-NYA. Karena itu 
kepada-NYA diberikan banyak sebutan, misalnya:

1.Gusti Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad),

2.Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan),

3.Gusti Kang Murbeng Dumadi (Sang Penentu nasib semua mahluk) ,

4.Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain.

"Tuhan itu satu tetapi menyebut-NYA dengan banyak
nama".


Dalam pengertian Jawa menyatakan bahwa Tuhan telah menyatu dengan ciptaan-NYA. Persatuan antara Tuhan dan ciptaan-NYA itu digambarkan sebagai "curiga manjing warangka,warangka manjing curiga" (keris masuk ke dalam sarungnya,seperti sarung memasuki kerisnya). 
Meski ciptaan-NYA selalu berubah, Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaan-NYA.


Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan: 

“Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, Nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu”
(Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar,mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah).

Menyatunya Tuhan dengan ciptaan-NYA secara simbolis juga dikatakan: 

"kaya kodok ngemuli leng, kaya kodok kinemulan ing leng" (seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak  terselimuti liangnya)... Atau "DIA ada padaku dan aku ada pada-NYA". 

Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaan-NYA pun menjadi tak terukur lagi. 

"Adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan"
(jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan)

Dan juga dinyatakan dengan kata- kata "Gusti lan kawula iku tunggal" (Tuhan dan aku menyatu).

Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Sira,…."Sira Iku Ingsun" (ENGKAU adalah aku)

Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. 
Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata: 

"yo ngono nanging ora ngono"
(ya begitu tetapi tidak seperti itu).

Sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaan-NYA bisa ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja,hingga apa saja dan siapa saja bisa di Tuhankan. 
Anggapan demikian tentulah salah,sebab Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu,dalam bahasa Jawa disebut "kaya geni lan urubpe" (seperti api dengan cahayanya),"kaya gulo lan legine"(seperti gula dengan manisnya) atau tak terpisahkan.

Dari pengertian tersebut maka Tuhan adalah "sesuatu yang tak tergambarkan" atau hakekat Tuhan adalah sebuah "kekosongan" atau "suwung", Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan.
Jadi hakekat Tuhan adalah "kekosongan abadi yang padat energi", seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden,tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat
semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling bertabrakan. Sang "kosong" atau "suwung" itu meliputi segalanya(suwung iku angliputi sakalir kang ana), seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada,baik di luar maupun di dalamnya.

Apabila hakekat Tuhan adalah "kekosongan" maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus "kosong", Sebab hanya "yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong".

Caranya dengan berusaha "mengosongkan diri" atau "membersihkan diri" dengan "menghilangan muatan-muatan yang membebani diri" yang berupa berbagai nafsu dan keinginan dengan “samadi/meditasi” yang intinya adalah menghentikan segala aktifitas pikiran berserta semua nafsu dan keinginan yang membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah
menjadikan diri "kosong". Karena itu salah satu caranya dengan
berusaha "mengosongkan diri" dengan berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan "Sang Maha Kosong".

Dengan demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai sebenarnya.Apabila tujuan "samadi" itu berhasil, terdapat tanda-tanda khusus. Konon, ketika puncak keheningan tercapai, orang serasa terjun ke suasana "heneng" atau "sunya", tenggelam dalam suasana "kedamaian batin sejati, rasa damai yang akut", yang dikatakan "manjing jroning sepi", atau "rasa damai yang tak terkatakan". Suasana demikian terjadi hanya sesaat, atau "tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati"
(ketika tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati).

Di sini makna kedamaian adalah "kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban apa pun", yang diistilahkan dengan suasana "hening heneng" atau "kedamaian sejati" atau Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka atau memasuki gelombang Theta.

Pada dasarnya proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai usaha memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun,yang dalam istilah Jawa disebut “ngudi cinaket ing Widhi” ( berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan).

Dalam ketidaktahuan manusia diistilahkan dalam kalimat:
“Apek banyu pikulane warih, apek geni dedamaran, kodok ngemuli elenge, tanpa suku lumaku, tanpa una lan tanpa uni “
(terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa dan tanpa suara).

Maksudnya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, walaupun dengan nama yang berbeda...
"kana kene yo podho bae" (sana dan sini sama saja).
Karena ketidaktahuanlah yang menyebabkan orang
kebingungan.

Ada pula istilah lain,bahwa untuk mendekatkan diri agar mengenal serta mengetahui Gusti lan Kawula,kudu biso ngebagusing ati(harus bisa membersihkan/memperbagus hati),budi pekerti sing apek,lampahe urip kudu bener,eling lan waspodo(budi pekerti harus baik,menjalani hidup harus benar,selalu ingat dan berhati-hati).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Silahkan berkomentar yang baik, dan lebih mendekati pada kebenaran"