content top



SEJARAH SENJATA KUJANG


Dalam Wacana dan Khasanah Kebudayaan Nusantara, Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan Kujang dikenal sebagai senjata yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. 

Kujang memiliki karakteristik bagian, antara lain : papatuk/congo (ujungkujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah(lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.


Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang. Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat,sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur.


Sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagimasyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.


Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi danbentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas(sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burungciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupaibadak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong(menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula  bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.


Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.


Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.


Dengan perkembangan kemajuan,teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral.

Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12. Pada tahun 1170 ada perubahan pada Kujang tersebut. Nilainya sebagai jimat atau jimat secara bertahap diakui oleh para penguasa dan bangsawan dari Kerajaan Pajajaran Makukuhan, khususnya pada masa pemerintahan Prabu Kudo Lalean. Dalam salah satu retret spiritualnya, Kudo Lalean diperintahkan melalui visi paranormal untuk mendesain ulang bentuk Kujang agar sesuai dengan bentuk dari Pulau "Djawa Dwipa,".

Kemudian raja menugaskan kedaulatan kerajaan pandai besi, Mpu Windu Supo,  untuk membuat kujang yang memiliki kualitas mistis dan filsafat spiritual,yang unik dalam desain,agar  generasi masa depan akan selalu mengasosiasikan dengan kerajaan Pajajaran Makukuhan. Setelah periode meditasi, Mpu Supo Windu memulai dengan Penciptaan sebuah prototipe dari Kujang tersebut,yang memiliki dua karakteristik menonjol,yaitu bentuk pulau Jawa dan tiga lubang atau takik di sekitar kujang.


Bentuk pulau Jawa diartikan sebagai bentuk penyatuan semua kerajaan kecil Jawa menjadi kerajaan tunggal, dipimpin oleh raja Makukuhan. Tiga lubang atau takik bundar untuk mewakili Trimurti, atau tiga aspek yang didewakan agama Hindu (Brahma, Wisnu, dan Siwa). Trinitas Hindu juga diwakili oleh tiga kerajaan utama yaitu kerajaan Pengging Wiraradya, terletak di sebelah timur Jawa, Kerajaan Kambang Putih, terletak di utara timur pulau, dan kerajaan Pajajaran Makukuhan , terletak di barat.

Ketika pengaruh Islam masuk dan berkembang, Kujang mengalami perubahan bentuk  menyerupai huruf Arab "Syin." Ini adalah  metode dari penguasa wilayah Pasundan, Prabu Kian Santang, yang ingin mengubah rakyat menjadi Islami. Karena sebelumnya  Kujang tersebut mewujudkan filosofi Hindu dan agama dari budaya yang ada. Syin adalah huruf kedua dari ayat syahadat setelah Alif ,maksudnya yang satu bersaksi untuk menyaksikan dari Allah tunggal dan Nabi Muhammad (diberkati dalam nama-Nya) sebagai utusan. 

Modifikasi dari Kujang  secara geografis sesuai dengan wilayah Pasundan atau Jawa barat agar sesuai dengan bentuk huruf  Syin. Kujang dimaksudkan untuk mengingatkan pemilik akan kesetiaan kepada Islam dan ketaatan terhadap ajaran-ajarannya.
Lima lubang atau takik bulat di Kujang menggantikan tiga dari Trimurti. Mereka mewakili lima rukun Islam.
Kujang bukan sekadar senjata pusaka. Kujang merupakan simbol ajaran ketuhanan tentang asal usul alam semesta yang dijadikan dasarkonsepsi sistem ketatanegaraan Sunda purba. Bentuknya merupakan manifestasi wujud manusia sebagai ciptaan yang sempurna. Wujud kujang merupakan manifestasi alam semesta.

0 komentar:

Posting Komentar

"Silahkan berkomentar yang baik, dan lebih mendekati pada kebenaran"



Semua Manusia akan rusak,kecuali yang Berilmu... Orang yang berilmu pun akan rusak ,kecuali orang yang beramal... Orang yang beramal juga akan rusak ,kecuali orang yang Ikhlas (Imam Al-Ghozali)